Jumat, 29 Juni 2012

seni sebagai benda


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seni adalah segala sesuatu yang di buat orang bukan karena  didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok melainkan adalah karna desakan kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan akan kemewahan, kenikmatan, atau kebutuhan spiritual. 
Seni atau art berarti teknik, pertukaran, keterampilan yang dalam bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan keindahan. Pengetahuan ini disebut dengan filsafat keindahan, termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Akan tetapi karya seni tidak selalu indah, seperti yang dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang khusus yang benar- benar menjawab tentang apa hakekat seni itu. Perbedaan antara estetika dengan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempesoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni. Tahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya dengan pengetahuan intelektual. Tujuan estetik adalah keindahan, sedangkan tujuan logika adalan kebenaran.
Istilah estetika baru muncul tahun 1750 oleh seorang filsuf minor yang bernama “ A. G Baumgarten (1714-1762). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “ kemampuan melihat lewat pengindraan ” .
            Karya seni mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak mengandung makna ekspresi semcam itu. Jadi bisa dibedakan bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni. Sedangkan filsafat seni hanya merupakan bagian estetika yang khusus membahas karya seni. Dengan kata lain, filsafat membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri, membahas nilai- nilai seni membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai kontekseni dan mengenai resepsi publik seni.
            Filsafat seni, yang merupakan bagian dari estetika modern, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni, akan tetapi juga aktivitas manusia, baik keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, sebenarnya hanya ada tiga pokok persoalan filsafat seni, yaitu seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni itu sendiri, dan para penerima seni.
Seni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik dengan pendengaran (audio) maupun penglihatan (visual) dan gabungan dari keduanya. Masing- masing golongan seni ditentukan bentuknya oleh material seninya atau mediumnya. Setiap medium memiliki ciri khas tersendiri dengan keterbatasan dan kelebihan masing- masing. Penggolongan benda- benda seni akan melahirkan ilmu- ilmu seni khusus, seperti ilmu sastra, ilmu seni tari, ilmu seni teater.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggolongan Seni
Dalam sejarah estetika Eropa telah lama dikenal tentang pembedaan apa yang disebut seni. Sejak zaman Yunani dan Romawi, orang telah dapat membedakan yang mana seni kasar dan yang mana seni halus. Seni kasar atau vulgar art adalah karya seni kaum buruh, tukang, dan budak, sedangkan seni halus atau liberal art adalah karya milik warga negara yang merdeka. Kemudian dalam perkembangannya perbedaan tersebut terus menerus berlaku di Eropa sampai abad ke – 18. Pada abad ke-18 kaum borjuislah yang menguasai kehidupan masyarakat, maka nilai-nilai borjuis pulalah yang di pakai untuk menentukan patokan mana yang disebut seni dan bukan seni
Dalam arti lain pada abat ke-18 seni yang berkembang di eropa  merupakan seni yang masih tergantung terhadap kau borjuis yang pada saat itu memegang kekuasaan terhadap kehidupan masyarakat. Dalam proses ini kaum borjuislah yang menentukan layak atau tidaknya sebuah karya seni.

Pengaruh semacam ini masih terasa di Indonesia, contoh kecil dapat kita lihat para pembatik tanah air mereka bukanlah seniman, meskipun telah menciptakan ratusan lembar kain batik. Bahkan teater seperti lenong baru pada tahun 1970-an bisa di gelar di Taman Ismail Marzuki, sebelumnya hal tersebut bukanlah di sebut teater. Maka, sejak itulah lahir kata seniman dan tukang. Seniman termasuk golongan seni halus atau liberal art, dan seni besar, contohnya seorang seniman tidak akan bisa membuat sebuah karya seni lebih dari setu, atau menduflikatkanya, sedangkan tukang termasuk seni kasar atau vulgar art, seni pakai contoh nya seperti seniman-seniman pengrajin yang membuat karya untuk di produksi dalam jumlah yang lebih dari satu.

Pada abad ke-20 di dunia Barat terjadi perubahan sosial budaya besar, yakni semakin kuatnya ideologi demokrasi modern di hampir semua bangsa. Pada masa itulah, orang mulai menilai sebuah karya seni atau benda seni dengan pandangan lain, dan pendekatan terhadap penggolongan seni bukan lagi berdasarkan ideologi suatu golongan ideologi suatu golongan, tetapi lebih menitikberatkan segi objektif benda seni itu sendiri.
Penggolongan seni lebih didekati dari material seni dan cara seni diindera. Maka, ada pembagian seni visual (seni lihatan), seni audio (seni dengaran) dan seni audio-visual (seni lihatan dan dengaran). Golongan yang pertama terdiri atas seni rupa (tanpa gerak) dan seni lihatan bergerak (film), yang 2 dimensi (matra). Seni visual 3 dimensi terdiri atas seni pahat dan seni ukir (tanpa gerak), seni dan pantomim (bergerak). Golongan dua matra terdiri atas seni nada yang tunggal dan mejemuk, serta seni kata yang berirama (puisi) dan tanpa irama (prosa). Golongan tiga matra terdiri atas seni tari, seni opera, dan seni drama. Ada pula yang menggolongkan menjadi seni statis dan seni dinamis. Seni statis merupakan seni yang menatap dan tak berubah sejak  dilahirkan, contohnya patung yang dipahat pada zaman raja balitung tahun 900 sampai sekarang bentuknya tak berubah, sedangkan seni dinamis terikat oleh ruang dan waktu penciptaan, contohnya seperti seni tari pada zaman mataram abad ke-19 tak mungkin lagi kita nikmati saat sekarang ini.

B. Benda Seni
Seni memang bukan benda, melainkan nilai yang dilihat oleh penikmat seni, yaitu nilai yang dikandung oleh benda tersebut, atau benda seni itu sendiri merupakan perwujudan nilai yang dimaksudkan oleh senimanya, yang terpenting dalam seni bukan lah benda seninya, melaikan ide dibalik benda tersebut, karena tampa ide benda seni itu takkan terwujud dan tidak memiliki makna atau pesan dalam sebuah benda tersebut.
 Seni tidak akan muncul dari benda seni kalau benda tersebut tidak mengandung dan menawarkan nilai seni. Sebaliknya, sebagi nilai yang ditawarkan benda seni tak mampu dilihat oleh penikmat seni. Nilai bersifat abstrak, hanya ada dalam jiwa perorangan artinya nilai atau suatu rasa yang dapat dirasakan si penikmatnya. Nilai tersebut dapat di pelajari dan di peroleh manusia dari lingkungan hidupnya melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal.
Kemudian nilai sebuah seni suatu kelompok sosial juga hanya dapat di kenali lewat perwujudannya dalam bentuk, dalam gejala fisik, yakni benda seni. Melalui benda seni inilah nilai keindahan dan nilai seni suatu masyarakat dapat di kenali.
Benda seni adalah titik pertemuan komunikasi antara seniman dan publiknya atau masyarakat, dalam arti lain di dimana  pesan yag disampaikan oleh seniman itu dapat tersalurkan kepada masyarakan atau penikmatnya melalui karya seninya. Benda seni adalah sesuatu yang mewujud, dan dengan demikian dapat dilihat atau didengar sekaligus oleh penikmat seni. Benda seni inderawi, harus dapat diindera oleh publik seni.
C. Bentuk dan Isi
Sebuah benda seni bisa juga berwujud ide atau gagasan, pengalaman atau tindakan dan hasil karya manusia atau artefak. Sebuah benda senni  harus memiliki wujud agar dapat diterima secara inderawi ( dilihat, didengar, atau didengar dan dilihat) oleh orang lain. Benda seni itu suatu wujud fisik. Tetapi, wujud fisik itu sendiri tidak serta-merta menjadi karya seni dan tidaknya suatu wujud fisik ditentukan oleh nilai yang ada didalamnya, benda seni hanyalah suatu objek yang dapat di berikan nilai-nilai oleh subjek penerima seni.
 Suatu wujud atau benda dapat disebut bernilai seni apa bila ada sikap estetik subjek pengamatanya, karena benda itu senditi mengandung kemampuan untuk merangsang diberikanya berbagai nilai oleh subjeknya, contohnya seperti lukisan apandi yang menggambarkan bentuk seorang anak yang menuntun ayahnya yang buta, adapun isi yang ingin disampaikan oleh afandi adalah iya ingin mengingatkan akan makhluk yang kurang bahagia dalam kehidupanya yaitu menderita kebutaan sehingga iya selalu mengharapkan bantuan orang lain untuk menuntunya.
Nilai yang biasa di temukan dalam sebuah karya seni ada dua, yakni nilai bentuk (inderawi) dan nilai isi (di balik yang indrawi). Nilai bentuk tersebut terdiri atas nilai bahan seni atau juga disebut ‘medium’ suatu bentuk seni. Dalam seni lukis mediumnya mungkin cat minyak yang mengandung nilai warna, tekstur, garis, dan bangun-bangun tertentu sebagai unsur bentuknya.
Dalam mewujudkan benda seninya, seorang seniman memang akan menampakkan ciri-ciri kpribadiannya yang mandiri dan khas, yakni berapa besar dan asli bakatnya selain gaya dan bentuk. Seorang seniman juga di kenal lewat gaya isi, yakni pilihan objek seninya, baik itu cara memandang objek, kedalaman pandangannya tentang objek, sikapnya terhadap objek, dan lain-lain.
Persoalan bentuk dan isi ini juga dapat dihubungkan dengan perdebatan adanya nilai-nilai universal yang melampoi zaman dan tempat serta nilai setempat yang aktual, atau nilai kontekstual. Setiap benda seni mengandung kedua nilai tadi, yang jelas nilai bentuk bersifat universal.tinjauan isi dan bentuk seni daapat dijadikan pegangan untuk menganalisis sejauh mana sebuah karya seni menekankan kedua aspek tersebut, ada penelanan pada bentuk tampa menetapkan isi yang tegas, isi seni terserah pada subjek penikmat, mau ditapsirkan apa saja.


D. Pemuja Bentuk, Pemuja Isi
Benda seni dapat dibedakan antara bentuk perwujudan seninya (bagaiman di wujudkan) dan isi jiwa yang ingin diwujudkannya apa yang di wujudkan. Perbedaan kedua aspek ini akan melahirkan dua sikap dalam penghayatan seni.
 
Di lain pihak, kaum pemuja isi seni lebih menekankan pada tanggapan stimulus dunia luar mana yang di anggap signipikan atau bermakna, yang penting, dalam pandangan seseorang. Persoalan penting bermasyarakat menjadi soal penting kesenian. Seni itu harus berguna dalam kehidupan nyata (pragmatis).

Kaum pemuja bentuk ini (juga sering dinamakan kaum astet) hanya peduli pada penciptaan unsur medium seni yang baru dan segar, cara membentuk struktur berbagai unsurnya, cara menyusun irama, serta kesederhanaan bentuknya.

Sebuah karya seni yang besar tentu memenuhi persyaratan bentuk maupun isi. Tinggal para penanggapnya apakah akan memanfaatkan dari aspek bentuk atau isi. Yang jelas, sebuah karya seni besar akan dapat di nilai dari kebesaran bentuknya, dan juga kebesaran isinya.

E. Seni Sebagai Bentuk Bermakna
Seni memang dapat memperkaya kehidupan, yaitu dengan memberi sebuah pengalaman emosi atau pengalaman keindahan yang tihdak di peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Seni yang bermutu adalah seni yang mampu meberikan pengalaman estetik, pengalaman emosi, pengalaman keindahan, dan pengalamna seni khas milik dirinya.
Pengalaman emosi ditimbulkan oleh benda seni bukanlah benda emosi yang kita alami dalam kehidupan nyata. Sebuah benda seni baru memiliki bentuk bermakna kalau emosi yang dibangkitkannya, benar-benar emosi baru, segar, unik dan khas, yang hanya dapat di munculkan kalu seseorang menyatu dalam pengalaman seni dengan karyanya. Contoh kesan potret para raja, lukisan yang melukiskan adegan cerita, atau karya seni yang mengandung kadar informasi tinggi, dapat jatuh menjadi karya seni yang tidak mengandung bentuk bermakna.
Kemudian, seni yang baik mampu memberikan pengalaman, baik pengalaman emosi ataupun kognisi, yang bukan berasal dari dunia ini. Emosi dan kognisi seni adalah sesuatu yang kita kenal, tetapi sekaligus tidak kita kenal sebelumnya. Seni itu objektif dan sekaligus objektif, seni itu kongkrit tapi juga abstrak. Sebab, seni berangkat dari pengalaman sehari-hari yang dialami seorang seniman.
Dalam seni, kita mengisi suatu bentuk bermakna, suatu pengalaman khas yang tak terjelaskan secara empiris maupun secara logis. Itulah misteri karya- karya seni besar, karya seni yang mengandung bentuk bermakna pada tiap zaman dan pada tiap tempat dan juga pada tiap diri individu.


F. Mimesis Dan Imajinasi
Dalam pemikiran seni dan sejarah seni Barat terdapat persoalan bahwa seni itu menghadirkan sesuatu, baik yang fisikal, spritual, mental, dan sosial. Sebagaimana sebuah seni menghadirkan kenyatan seperti apa adanya kenyataan itu, atau menghadirkan sesuatu yang ada di balik kenyataan tersebut. Persoalan ini menjadi perdebatan antara pemikir seni. Dan para seniman sejak zaman Yunani purba.
Dalam diri seniman harus ada semacam potensi makna intelektual yang bekerja untuk mengorganisasikan secara mental suatu di luar dirinya. Makna inteletual seniaman bukan hanya memberi struktur pada kenyataan alamiah, tapi juga menemukan struktur alam itu sendiri.
Dengan demikian seorang seniman dapat meyakini adanya hubungan antara benda seni dengan realitas di luar diri senimannya. Tetapi, terdapat perbedaan mengenai cara melihat dan kemudian mempresentasikannya. Seni tidak dapat di pisahkan dengan realitas hidup lingkungan senimannya. Di suatu pihak, realitas itu di lihat secara subjektif melalui struktur mental senimannya, dan di lain pihak realitas itu dapat mungkin di hadirkan secara objektif tanpa campur tangan subjek seniman. Artinya seorang seniman dapat bertindak refresentatif dan sekaligus ekspresif, objektif dan subjektif dalam melahirkan karya-karya seninya.


DAFTAR PUSTAKA

Soedarso (1992), “ Pengantar Apresiasi Seni”, Balai Pustaka : Jakarta.
Sony Kartika, Dharsono (2004), “Seni Rupa Modern”, Rekayasa Sains : Bandung.
Sudjoko (2001), “Pengantar Seni Rupa”, ITB : Bandung.
Sumardjo, Jakob (2000), “Filsafat Seni”, ITB : Bandung.
Widyawati, Setya (), “Buku Ajar Filsafat Seni”, P2AI dan STSI Press : Surakarta.
Suedarso (2006), “Trilogi Seni”,Bp ISI Jogyakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar