BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seni
adalah segala sesuatu yang di buat orang bukan karena didorong oleh keinginan untuk memenuhi
kebutuhan pokok melainkan adalah karna desakan kebutuhan sekunder, yaitu
kebutuhan akan kemewahan, kenikmatan, atau kebutuhan spiritual.
Seni atau art berarti teknik, pertukaran, keterampilan
yang dalam bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan keindahan.
Pengetahuan ini disebut dengan filsafat keindahan, termasuk didalamnya
keindahan alam dan keindahan karya seni. Akan tetapi karya seni tidak selalu
indah, seperti yang dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang
khusus yang benar- benar menjawab tentang apa hakekat seni itu. Perbedaan
antara estetika dengan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja.
Estetika mempesoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat
seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut
seni. Tahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya dengan
pengetahuan intelektual. Tujuan estetik adalah keindahan, sedangkan tujuan
logika adalan kebenaran.
Istilah estetika
baru muncul tahun 1750 oleh seorang filsuf minor yang bernama “ A. G Baumgarten
(1714-1762). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani kuno, aistheton, yang berarti “ kemampuan melihat lewat pengindraan ” .
Karya
seni mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak mengandung
makna ekspresi semcam itu. Jadi bisa dibedakan bahwa estetika merupakan
pengetahuan tentang keindahan alam dan seni. Sedangkan filsafat seni hanya
merupakan bagian estetika yang khusus membahas karya seni. Dengan kata lain, filsafat
membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri, membahas
nilai- nilai seni membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai
kontekseni dan mengenai resepsi publik seni.
Filsafat
seni, yang merupakan bagian dari estetika modern, tidak hanya mempersoalkan
karya seni atau benda seni, akan tetapi juga aktivitas manusia, baik
keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan
menggunakan produk tersebut. Dengan demikian, sebenarnya hanya ada tiga pokok
persoalan filsafat seni, yaitu seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau
benda seni itu sendiri, dan para penerima seni.
Seni terwujud
berdasarkan medium tertentu, baik dengan pendengaran (audio) maupun penglihatan
(visual) dan gabungan dari keduanya. Masing- masing golongan seni ditentukan
bentuknya oleh material seninya atau mediumnya. Setiap medium memiliki ciri
khas tersendiri dengan keterbatasan dan kelebihan masing- masing. Penggolongan
benda- benda seni akan melahirkan ilmu- ilmu seni khusus, seperti ilmu sastra,
ilmu seni tari, ilmu seni teater.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penggolongan Seni
Dalam sejarah
estetika Eropa telah lama dikenal tentang pembedaan apa yang disebut seni.
Sejak zaman Yunani dan Romawi, orang telah dapat membedakan yang mana seni
kasar dan yang mana seni halus. Seni kasar atau vulgar art adalah karya seni kaum buruh, tukang, dan budak,
sedangkan seni halus atau liberal art
adalah karya milik warga negara yang merdeka. Kemudian dalam perkembangannya perbedaan
tersebut terus menerus berlaku di Eropa sampai abad ke – 18. Pada abad ke-18
kaum borjuislah yang menguasai kehidupan masyarakat, maka nilai-nilai borjuis
pulalah yang di pakai untuk menentukan patokan mana yang disebut seni dan bukan
seni
Dalam arti lain
pada abat ke-18 seni yang berkembang di eropa
merupakan seni yang masih tergantung terhadap kau borjuis yang pada saat
itu memegang kekuasaan terhadap kehidupan masyarakat. Dalam proses ini kaum
borjuislah yang menentukan layak atau tidaknya sebuah karya seni.
Pengaruh semacam
ini masih terasa di Indonesia, contoh kecil dapat kita lihat para pembatik
tanah air mereka bukanlah seniman, meskipun telah menciptakan ratusan lembar
kain batik. Bahkan teater seperti lenong baru pada tahun 1970-an bisa di gelar
di Taman Ismail Marzuki, sebelumnya hal tersebut bukanlah di sebut teater.
Maka, sejak itulah lahir kata seniman dan tukang. Seniman termasuk golongan
seni halus atau liberal art, dan seni
besar, contohnya seorang seniman tidak akan bisa membuat sebuah karya seni
lebih dari setu, atau menduflikatkanya, sedangkan tukang termasuk seni kasar
atau vulgar art, seni pakai contoh
nya seperti seniman-seniman pengrajin yang membuat karya untuk di produksi
dalam jumlah yang lebih dari satu.
Pada abad ke-20
di dunia Barat terjadi perubahan sosial budaya besar, yakni semakin kuatnya
ideologi demokrasi modern di hampir semua bangsa. Pada masa itulah, orang mulai
menilai sebuah karya seni atau benda seni dengan pandangan lain, dan pendekatan
terhadap penggolongan seni bukan lagi berdasarkan ideologi suatu golongan
ideologi suatu golongan, tetapi lebih menitikberatkan segi objektif benda seni
itu sendiri.
Penggolongan
seni lebih didekati dari material seni dan cara seni diindera. Maka, ada
pembagian seni visual (seni lihatan), seni audio (seni dengaran) dan seni
audio-visual (seni lihatan dan dengaran). Golongan yang pertama terdiri atas
seni rupa (tanpa gerak) dan seni lihatan bergerak (film), yang 2 dimensi
(matra). Seni visual 3 dimensi terdiri atas seni pahat dan seni ukir (tanpa
gerak), seni dan pantomim (bergerak). Golongan dua matra terdiri atas seni nada
yang tunggal dan mejemuk, serta seni kata yang berirama (puisi) dan tanpa irama
(prosa). Golongan tiga matra terdiri atas seni tari, seni opera, dan seni
drama. Ada pula yang menggolongkan menjadi seni statis dan seni dinamis. Seni
statis merupakan seni yang menatap dan tak berubah sejak dilahirkan, contohnya patung yang dipahat
pada zaman raja balitung tahun 900 sampai sekarang bentuknya tak berubah, sedangkan
seni dinamis terikat oleh ruang dan waktu penciptaan, contohnya seperti seni
tari pada zaman mataram abad ke-19 tak mungkin lagi kita nikmati saat sekarang
ini.
B. Benda Seni
Seni memang
bukan benda, melainkan nilai yang dilihat oleh penikmat seni, yaitu nilai yang
dikandung oleh benda tersebut, atau benda seni itu sendiri merupakan perwujudan
nilai yang dimaksudkan oleh senimanya, yang terpenting dalam seni bukan lah
benda seninya, melaikan ide dibalik benda tersebut, karena tampa ide benda seni
itu takkan terwujud dan tidak memiliki makna atau pesan dalam sebuah benda
tersebut.
Seni tidak akan muncul dari benda seni kalau
benda tersebut tidak mengandung dan menawarkan nilai seni. Sebaliknya, sebagi
nilai yang ditawarkan benda seni tak mampu dilihat oleh penikmat seni. Nilai
bersifat abstrak, hanya ada dalam jiwa perorangan artinya nilai atau suatu rasa
yang dapat dirasakan si penikmatnya. Nilai tersebut dapat di pelajari dan di
peroleh manusia dari lingkungan hidupnya melalui pendidikan, baik pendidikan
formal maupun non-formal.
Kemudian nilai
sebuah seni suatu kelompok sosial juga hanya dapat di kenali lewat
perwujudannya dalam bentuk, dalam gejala fisik, yakni benda seni. Melalui benda
seni inilah nilai keindahan dan nilai seni suatu masyarakat dapat di kenali.
Benda seni
adalah titik pertemuan komunikasi antara seniman dan publiknya atau masyarakat,
dalam arti lain di dimana pesan yag
disampaikan oleh seniman itu dapat tersalurkan kepada masyarakan atau
penikmatnya melalui karya seninya. Benda seni adalah sesuatu yang mewujud, dan
dengan demikian dapat dilihat atau didengar sekaligus oleh penikmat seni. Benda
seni inderawi, harus dapat diindera oleh publik seni.
C.
Bentuk dan Isi
Sebuah benda
seni bisa juga berwujud ide atau gagasan, pengalaman atau tindakan dan hasil
karya manusia atau artefak. Sebuah benda senni harus memiliki wujud agar dapat diterima
secara inderawi ( dilihat, didengar, atau didengar dan dilihat) oleh orang
lain. Benda seni itu suatu wujud fisik. Tetapi, wujud fisik itu sendiri tidak
serta-merta menjadi karya seni dan tidaknya suatu wujud fisik ditentukan oleh
nilai yang ada didalamnya, benda seni hanyalah suatu objek yang dapat di
berikan nilai-nilai oleh subjek penerima seni.
Suatu wujud atau benda dapat disebut bernilai
seni apa bila ada sikap estetik subjek pengamatanya, karena benda itu senditi
mengandung kemampuan untuk merangsang diberikanya berbagai nilai oleh subjeknya,
contohnya seperti lukisan apandi yang menggambarkan bentuk seorang anak yang
menuntun ayahnya yang buta, adapun isi yang ingin disampaikan oleh afandi
adalah iya ingin mengingatkan akan makhluk yang kurang bahagia dalam
kehidupanya yaitu menderita kebutaan sehingga iya selalu mengharapkan bantuan
orang lain untuk menuntunya.
Nilai yang biasa
di temukan dalam sebuah karya seni ada dua, yakni nilai bentuk (inderawi) dan
nilai isi (di balik yang indrawi). Nilai bentuk tersebut terdiri atas nilai
bahan seni atau juga disebut ‘medium’ suatu bentuk seni. Dalam seni lukis
mediumnya mungkin cat minyak yang mengandung nilai warna, tekstur, garis, dan
bangun-bangun tertentu sebagai unsur bentuknya.
Dalam mewujudkan
benda seninya, seorang seniman memang akan menampakkan ciri-ciri kpribadiannya
yang mandiri dan khas, yakni berapa besar dan asli bakatnya selain gaya dan
bentuk. Seorang seniman juga di kenal lewat gaya isi, yakni pilihan objek
seninya, baik itu cara memandang objek, kedalaman pandangannya tentang objek,
sikapnya terhadap objek, dan lain-lain.
Persoalan bentuk
dan isi ini juga dapat dihubungkan dengan perdebatan adanya nilai-nilai
universal yang melampoi zaman dan tempat serta nilai setempat yang aktual, atau
nilai kontekstual. Setiap benda seni mengandung kedua nilai tadi, yang jelas
nilai bentuk bersifat universal.tinjauan isi dan bentuk seni daapat dijadikan
pegangan untuk menganalisis sejauh mana sebuah karya seni menekankan kedua
aspek tersebut, ada penelanan pada bentuk tampa menetapkan isi yang tegas, isi
seni terserah pada subjek penikmat, mau ditapsirkan apa saja.
D.
Pemuja Bentuk, Pemuja Isi
Benda seni dapat
dibedakan antara bentuk perwujudan seninya (bagaiman di wujudkan) dan isi jiwa
yang ingin diwujudkannya apa yang di wujudkan. Perbedaan kedua aspek ini akan
melahirkan dua sikap dalam penghayatan seni.
Di lain pihak,
kaum pemuja isi seni lebih menekankan pada tanggapan stimulus dunia luar mana
yang di anggap signipikan atau bermakna, yang penting, dalam pandangan
seseorang. Persoalan penting bermasyarakat menjadi soal penting kesenian. Seni
itu harus berguna dalam kehidupan nyata (pragmatis).
Kaum pemuja
bentuk ini (juga sering dinamakan kaum astet) hanya peduli pada penciptaan
unsur medium seni yang baru dan segar, cara membentuk struktur berbagai
unsurnya, cara menyusun irama, serta kesederhanaan bentuknya.
Sebuah karya
seni yang besar tentu memenuhi persyaratan bentuk maupun isi. Tinggal para
penanggapnya apakah akan memanfaatkan dari aspek bentuk atau isi. Yang jelas,
sebuah karya seni besar akan dapat di nilai dari kebesaran bentuknya, dan juga
kebesaran isinya.
E.
Seni Sebagai Bentuk Bermakna
Seni memang
dapat memperkaya kehidupan, yaitu dengan memberi sebuah pengalaman emosi atau
pengalaman keindahan yang tihdak di peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Seni
yang bermutu adalah seni yang mampu meberikan pengalaman estetik, pengalaman
emosi, pengalaman keindahan, dan pengalamna seni khas milik dirinya.
Pengalaman emosi
ditimbulkan oleh benda seni bukanlah benda emosi yang kita alami dalam
kehidupan nyata. Sebuah benda seni baru memiliki bentuk bermakna kalau emosi
yang dibangkitkannya, benar-benar emosi baru, segar, unik dan khas, yang hanya
dapat di munculkan kalu seseorang menyatu dalam pengalaman seni dengan
karyanya. Contoh kesan potret para raja, lukisan yang melukiskan adegan cerita,
atau karya seni yang mengandung kadar informasi tinggi, dapat jatuh menjadi
karya seni yang tidak mengandung bentuk bermakna.
Kemudian, seni
yang baik mampu memberikan pengalaman, baik pengalaman emosi ataupun kognisi,
yang bukan berasal dari dunia ini. Emosi dan kognisi seni adalah sesuatu yang
kita kenal, tetapi sekaligus tidak kita kenal sebelumnya. Seni itu objektif dan
sekaligus objektif, seni itu kongkrit tapi juga abstrak. Sebab, seni berangkat
dari pengalaman sehari-hari yang dialami seorang seniman.
Dalam seni, kita
mengisi suatu bentuk bermakna, suatu pengalaman khas yang tak terjelaskan
secara empiris maupun secara logis. Itulah misteri karya- karya seni besar,
karya seni yang mengandung bentuk bermakna pada tiap zaman dan pada tiap tempat
dan juga pada tiap diri individu.
F. Mimesis Dan Imajinasi
Dalam pemikiran
seni dan sejarah seni Barat terdapat persoalan bahwa seni itu menghadirkan
sesuatu, baik yang fisikal, spritual, mental, dan sosial. Sebagaimana sebuah
seni menghadirkan kenyatan seperti apa adanya kenyataan itu, atau menghadirkan
sesuatu yang ada di balik kenyataan tersebut. Persoalan ini menjadi perdebatan
antara pemikir seni. Dan para seniman sejak zaman Yunani purba.
Dalam diri seniman
harus ada semacam potensi makna intelektual yang bekerja untuk
mengorganisasikan secara mental suatu di luar dirinya. Makna inteletual
seniaman bukan hanya memberi struktur pada kenyataan alamiah, tapi juga
menemukan struktur alam itu sendiri.
Dengan demikian
seorang seniman dapat meyakini adanya hubungan antara benda seni dengan
realitas di luar diri senimannya. Tetapi, terdapat perbedaan mengenai cara
melihat dan kemudian mempresentasikannya. Seni tidak dapat di pisahkan dengan
realitas hidup lingkungan senimannya. Di suatu pihak, realitas itu di lihat
secara subjektif melalui struktur mental senimannya, dan di lain pihak realitas
itu dapat mungkin di hadirkan secara objektif tanpa campur tangan subjek
seniman. Artinya seorang seniman dapat bertindak refresentatif dan sekaligus
ekspresif, objektif dan subjektif dalam melahirkan karya-karya seninya.
DAFTAR PUSTAKA
Soedarso (1992),
“ Pengantar Apresiasi Seni”, Balai Pustaka : Jakarta.
Sony Kartika,
Dharsono (2004), “Seni Rupa Modern”, Rekayasa Sains : Bandung.
Sudjoko (2001),
“Pengantar Seni Rupa”, ITB : Bandung.
Sumardjo, Jakob
(2000), “Filsafat Seni”, ITB : Bandung.
Widyawati, Setya
(), “Buku Ajar Filsafat Seni”, P2AI dan STSI Press : Surakarta.
Suedarso (2006),
“Trilogi Seni”,Bp ISI Jogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar